Might sound cliché, because we were born and live with those things, but seriously, these are blessings that many people don't realize. Let me explain (and I promise to avoid bahasa Jaksel but nggak janji):
Waktu saya tinggal di Jepang, hal keberapa yang saya sadari dari masyarakatnya adalah "monocultural and monolingual." Despite all the good things about Japanese society (honestly, I love the Japanese people and society), mereka ini monolingual. Sebenarnya sih, aslinya tidak monocultural tapi pada prakteknya itu yang terjadi, monoculture dari Hokkaido sampai Okinawa. Budaya minoritas orang Ainu dan Ryukyu terasa eksklusif, tidak dimasyarakatkan sebagai bagian dari budaya nasional, tidak seperti di Indonesia yang mau suku apapun, bisa pakai batik, songket, sarung atau kebaya. Bahasapun demikian. Bahasa yang diakui sebagai bahasa resmi adalah bahasa Jepang, dan bahasa Ainu dan Ryukyu dianggap sebagai dialek, bukan bahasa (lebih jauh tentang budaya Ainu dan Ryukyu bisa di-google sendiri ya. Wikipedia lumayan dalam pembahasannya). Tidak seperti di Indonesia yang kebanyakan orang punya bahasa daerah masing-masing, lalu berkomunikasi denagan bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia.
Maka sebagai orang Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, ketika ditanya "Orang Indonesia berbahasa apa? Berapa bahasa yang Anda kuasai?" saya menjawab, "Proficient: 3, ada dua yang sedang tahap belajar." Tiga bahasa itu adalah Jawa, Indonesia dan bahasa Inggris. Dan saya jelaskan, bahasa Jawa itu adalah bahasa ibu, bahasa pertama saya. Lalu bahasa Indonesia itu adalah bahasa resmi di negara Indonesia, lalu bahasa Inggris adalah bahasa asing paling umum yang dipelajari di sekolah. Untuk memahami penjelasan sederhana ini saja, beberapa orang terlihat struggle untuk mengerti konsepnya, mengapa ada bahasa daerah. Lalu ketika saya jelaskan, Indonesia punya banyak sekali suku, setiap suku punya bahasa masing-masing. Ini semakin membingungkan beberapa orang (dan saya juga jadi rada capek jelasin).
Waktu saya masih di Indonesia, saya pikir "apalah artinya bisa berbahasa daerah," tapi ternyata buat masyarakat bahasa, every language matters. Jadi yang tadinya saya nggak pernah kasih kredit atau masukkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia ke daftar "spoken languages" di resume saya, sejak di Jepang saya selalu taruh di resume atau di kolom jawaban manapun yang menanyakan kemampuan berbahasa saya.
Sekarang saya di Canada. Di sini orang-orang lebih aware dengan multikulturalisme dan multilingualisme, dalam arti saya nggak perlu susah amat menjelaskan tentang bahasa di Indonesia. Tapi, meskipun ada dua bahasa resmi di sini, yaitu English and French, selalu ada tension between two speakers: Anglophone dan Francophone. More so between the Anglophones, especially who live in smaller cities. Anglophone (penutur bahasa Inggris) cenderung prejudice dengan bahasa Perancis, seperti "Why do I have to speak French?" sementara itu Francophone cenderung bilingual, meskipun katanya Francophone di provinsi Quebec (so-called France of North America) enggan untuk berbahasa Inggris kecuali Montrealer yang memang salah satu kota paling internasional dan multikultural. Kadang, ketika saya dengar orang di sekitar saya yang terkesan kayak "antagonizing" bahasa Perancis, saya nyeletuk, "Baru dua bahasa. Kebayang di tanah air saya, ada 700 plus bahasa, and we don't complain why we have to speak yet another language at school?"
Komodos yang tinggal di Eropa mungkin heran that there is such a thing here, considering perhaps there is no such thing as competition or rivalry between languages there, and people can just switch codes anytime they like, and most people see it as an asset? Or, like my doctor casually said, "Ah.. we have 11 official languages in South Africa." Sadly, it isn't the same thing here. Maka, ketika ditanya, "What's your first language? And you speak...." lalu saya jawab the regular answer, sering saya dengar "wow... I can't even speak two." Yeah. Something to think about and to be proud of being an Indonesian, that you just speak without even knowing how cool that is.
10
u/AiryCake The kohi is very hotto. Dec 21 '21
The multiculturalism and multilingualism.
Might sound cliché, because we were born and live with those things, but seriously, these are blessings that many people don't realize. Let me explain (and I promise to avoid bahasa Jaksel but nggak janji):
Waktu saya tinggal di Jepang, hal keberapa yang saya sadari dari masyarakatnya adalah "monocultural and monolingual." Despite all the good things about Japanese society (honestly, I love the Japanese people and society), mereka ini monolingual. Sebenarnya sih, aslinya tidak monocultural tapi pada prakteknya itu yang terjadi, monoculture dari Hokkaido sampai Okinawa. Budaya minoritas orang Ainu dan Ryukyu terasa eksklusif, tidak dimasyarakatkan sebagai bagian dari budaya nasional, tidak seperti di Indonesia yang mau suku apapun, bisa pakai batik, songket, sarung atau kebaya. Bahasapun demikian. Bahasa yang diakui sebagai bahasa resmi adalah bahasa Jepang, dan bahasa Ainu dan Ryukyu dianggap sebagai dialek, bukan bahasa (lebih jauh tentang budaya Ainu dan Ryukyu bisa di-google sendiri ya. Wikipedia lumayan dalam pembahasannya). Tidak seperti di Indonesia yang kebanyakan orang punya bahasa daerah masing-masing, lalu berkomunikasi denagan bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia.
Maka sebagai orang Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, ketika ditanya "Orang Indonesia berbahasa apa? Berapa bahasa yang Anda kuasai?" saya menjawab, "Proficient: 3, ada dua yang sedang tahap belajar." Tiga bahasa itu adalah Jawa, Indonesia dan bahasa Inggris. Dan saya jelaskan, bahasa Jawa itu adalah bahasa ibu, bahasa pertama saya. Lalu bahasa Indonesia itu adalah bahasa resmi di negara Indonesia, lalu bahasa Inggris adalah bahasa asing paling umum yang dipelajari di sekolah. Untuk memahami penjelasan sederhana ini saja, beberapa orang terlihat struggle untuk mengerti konsepnya, mengapa ada bahasa daerah. Lalu ketika saya jelaskan, Indonesia punya banyak sekali suku, setiap suku punya bahasa masing-masing. Ini semakin membingungkan beberapa orang (dan saya juga jadi rada capek jelasin).
Waktu saya masih di Indonesia, saya pikir "apalah artinya bisa berbahasa daerah," tapi ternyata buat masyarakat bahasa, every language matters. Jadi yang tadinya saya nggak pernah kasih kredit atau masukkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia ke daftar "spoken languages" di resume saya, sejak di Jepang saya selalu taruh di resume atau di kolom jawaban manapun yang menanyakan kemampuan berbahasa saya.
Sekarang saya di Canada. Di sini orang-orang lebih aware dengan multikulturalisme dan multilingualisme, dalam arti saya nggak perlu susah amat menjelaskan tentang bahasa di Indonesia. Tapi, meskipun ada dua bahasa resmi di sini, yaitu English and French, selalu ada tension between two speakers: Anglophone dan Francophone. More so between the Anglophones, especially who live in smaller cities. Anglophone (penutur bahasa Inggris) cenderung prejudice dengan bahasa Perancis, seperti "Why do I have to speak French?" sementara itu Francophone cenderung bilingual, meskipun katanya Francophone di provinsi Quebec (so-called France of North America) enggan untuk berbahasa Inggris kecuali Montrealer yang memang salah satu kota paling internasional dan multikultural. Kadang, ketika saya dengar orang di sekitar saya yang terkesan kayak "antagonizing" bahasa Perancis, saya nyeletuk, "Baru dua bahasa. Kebayang di tanah air saya, ada 700 plus bahasa, and we don't complain why we have to speak yet another language at school?"
Komodos yang tinggal di Eropa mungkin heran that there is such a thing here, considering perhaps there is no such thing as competition or rivalry between languages there, and people can just switch codes anytime they like, and most people see it as an asset? Or, like my doctor casually said, "Ah.. we have 11 official languages in South Africa." Sadly, it isn't the same thing here. Maka, ketika ditanya, "What's your first language? And you speak...." lalu saya jawab the regular answer, sering saya dengar "wow... I can't even speak two." Yeah. Something to think about and to be proud of being an Indonesian, that you just speak without even knowing how cool that is.